Sabtu, 22 Desember 2012

Janin

Untuk mencintanya, aku perlu mengerahkan seluruh daya yang kupunya. Harus kubakar semua energ yang ada. tu pun tak cukup. Untuk mencintainya, aku harus menangs dalam tawa, aku harus tertawa dalam tangis. Untuk mencintainya, bukan sekedar menorehkan tinta di atas kertas, bukan sekedar sekuntum bunga, atau sebatang coklat. Untuk mencintainya, aku harus persembahkan seluruh hatiku yang masih segar dan bergairah, yang belum lapuk layu.

Pernah sekali waktu aku mencoba mendekat. Selangkah lebih dekat ke jantungnya. Justru ia dua langkah makin dekat denganku. Aku tahu dan aku mengenalinya, meski belum sekali pun pernah kupandang wajahnya. Ia begitu lembut memperlakukan aku. Begitu bersahaja. Lewat getaran suaranya yang terkadang beriring isak luka, sungguh aku bisa merasakan kepedihannya, yang selalu ia pendam, ia kubur dalam tawa yang dibuat-buat.

Aku sering mendengar degup jantungnya yang cepat ketika ia berusaha memelukku, berusaha mengecupku, berusaha menggelitikku. Aku senang dengan semua ucapannya yang lebih seperti doa ketka ia mencoba berbincang denganku dari balik tabir ini. Atau ketika ia sedang menggumamkan sesuatu dengan lagu. Pernah suatu saat, dengan terbata, ia mendendangkan sebuah lagu dengan bahasa asing seperti in..

"Tak lela.. lela lela ledhun.. Cep meneng, aja pjeer nangis, anakku sing ayu rupane... Yen nangs ndak ilang ayune. Tak gadhang bsa urip mulya, dadia wanita utama, ngluhurke asmane wong tuwa..."

Belakangan baru kuketahui artinya, sebab ia berusaha menerjemahkannya untukku. Ia bilang begini..

"Sayang, jangan engkau menangis di sana, ya... Anakku yang cantik. Janganlah engkau menangs, nanti hilang kecantikanmu, hilang rerupamu yang ayu.. Kudoakan, Nak, selalu untukmu. Semoga engkau bisa hidup bahagia, segala berkecukupan. Jadilah engkau perempuan yang kuat, yang utama. Buatlah aku bangga meski aku tinggal nisan bernama. Jadilah engkau pahlawan bangsa..."

Seperti itu ucapnya. Tak henti-henti dengan cara dan gaya yang berbeda-beda. Dengan bahasa yang juga berupa-rupa. Ia teramat pandai, orang terpelajar agaknya. Ketika umurku empat bulan dulu, Tuhanku menyelipkan sebuah nama di antara banyak nama dalam buku Lauhul Mahfuzku. Kata Tuhan, orang ini adalah Ibu. Kelak kupanggil ia "Ibu".

Ahh... Terkadang ruangan ini terasa begitu sempit bagiku. Hingga sult rasanya meregangkan tubuh mungilku. Jika aku meluruskan tangan dan kakiku, pasti terbentur dinding yang lentur dan licin. Bahkan jika aku ingin mengubah posisi tidurku, kutendang-tendang pula dinding itu. Ketika itulah aku bisa mendengar ia tertawa geli, atau merintih lirih kesakitan. Namun, dasar bandelnya, makin hari makin gemar aku menendang-nendang. Apalagi sekarang ini. Ruangan ini kian tak cukup menampung tubuhku yang mulai gempal. Sebetulnya, di dalam sini sangat nyaman, hangat, dan aku tak pernah kelaparan, pun kehausan. Aku betah, tapi sudah tak muat lagi.

Kudengar suara Ibu merintih-rintih kesakitan. Bahkan sepertinya ia terisak, menangis. Aku sungguh tidak paham. Tak mengerti apa yang terjadi.

"Allahku.. Rabbku.. Tuhanku! Ampuni aku, Ya Rabb! Aku tak kuat! Sakiiiit....."

Begitu rintihnya. Ia berteriak memanggil nama Tuhan. Menyebutnya dengan nada memelas. Aku kebingungan. Sungguh. Kemudian kudengar banyak suara-suara lain. Aku bingung dan menendang-nendang. Kudorong tubuhku sendiri mengikuti gravitasi bumi. Aku makin panik ketika ruanganku terasa hampa, kosong, tak hangat lagi. Makin kuat kudorong tubuh ini, sekuat tenaga berusaha keluar dari rumahku yang makin terasa dingin.

"Ibu tenang, Bu.. Tarik napas, keluarkan. Lalu mengejan, ya Bu.. Anak Ibu juga berusaha. Ayo, Ibu harus kuat!"

Kudengar lamat-lamat suara seorang perempuan sambil aku masih mendorong-dorong tubuhku. Aku lelah sekali. Sungguh lelah. Mungkin ibu membantuku keluar. Makin lama makin terasa mudah mendorong, dan tetiba aku disilaukan oleh cahaya yang teramat terang. Aku tak mampu membuka mata.

Tubuhku leluasa menendang dan memukul kehampaan udara. Besar sekali tampaknya ruangan baru ini. Tapi aku takut. Teramat takut karena tak lagi dekat dengan jantung ibuku. Juga, ruangan ini terlalu dingin. Seketika kujeritkan tangisku yang paling bertenaga.

"Oaaaaaaa! Oaaaaaaa!"

Aku mau ibuku! Mana ibuku? Dingin sekali di sini. Anehnya, tak kudengar lagi tangisnya, atau tawanya. Aku merasa jauh. Atau sengaja dijauhkan! Aku tidak terima. Aku memberontak. Tapi tenagaku kian habis. Aku lemah tak berdaya. Lalu kurasakan tangan yang begitu lembut membopongku, mendekatkanku dengan suara jantung yang selama berbulan-bulan ini telah kuhafalkan iramanya. Dan aku berhenti menangis setelah mulutku dpenuhi air yang amat menyegarkan. Juga suara syahdu ini lagi..

"Cep meneng, aja pijer nangis... Anakku sing ayu rupane..."

Suara ibuku.


(specially dedicated to my beloved MOM)


 
18-12-2012/PBMN/I304/16:10 WIB

Selasa, 18 Desember 2012

Nyi Roro Langit Pribumi

Mengapa hanya aku, Tuhan?
yang terjatuh hari ini
membentang tabir dari kebahagiaan
mengurung diri bersama keterpurukan

Mengapa hanya aku, Tuhan?
yang mengangis hari ini
mengulas selaksa kisah menyedihkan
menitikkan macam-macam kekecewaan

Coba Engkau jelaskan, Tuhan!
hanya padaku hari ini
tentang skenario-Mu yang kian tak teramalkan
tentang rahasia hari-hari masa depan
Aku ingin tahu
adakah aku masih punya waktu
untuk sekedar menghapus prasangkaku
atas hidupku yang terlalu terhinakan
Coba, Tuhan..
Bawa aku dalam pelukMu..