Senin, 23 September 2019

Ilmu

Untuk engkau, wahai guruku..

Aku mencoba, Pak
Aku telah mencoba memadukan puing-puing ilmu
Pernah pula aku lelah
berpegang pada simpul-simpul kata yang buatku jengah
Hanya duduk termenung,
merenung, mendiamkan waktu
menciumi udara, lalu melepasnya

Aku mencoba, Pak
Aku telah mencoba menganyam helai demi helainya
Pernah pula aku ragu
atas benar tidaknya sejarah yang selama ini kita tahu
Hanya diam terpana,
masih mengais tanda-tanda keabsahannya

Aku mencoba, Pak
tapi aku lelah
tapi aku patah
dan kini aku pasrah

Sabtu, 22 Desember 2012

Janin

Untuk mencintanya, aku perlu mengerahkan seluruh daya yang kupunya. Harus kubakar semua energ yang ada. tu pun tak cukup. Untuk mencintainya, aku harus menangs dalam tawa, aku harus tertawa dalam tangis. Untuk mencintainya, bukan sekedar menorehkan tinta di atas kertas, bukan sekedar sekuntum bunga, atau sebatang coklat. Untuk mencintainya, aku harus persembahkan seluruh hatiku yang masih segar dan bergairah, yang belum lapuk layu.

Pernah sekali waktu aku mencoba mendekat. Selangkah lebih dekat ke jantungnya. Justru ia dua langkah makin dekat denganku. Aku tahu dan aku mengenalinya, meski belum sekali pun pernah kupandang wajahnya. Ia begitu lembut memperlakukan aku. Begitu bersahaja. Lewat getaran suaranya yang terkadang beriring isak luka, sungguh aku bisa merasakan kepedihannya, yang selalu ia pendam, ia kubur dalam tawa yang dibuat-buat.

Aku sering mendengar degup jantungnya yang cepat ketika ia berusaha memelukku, berusaha mengecupku, berusaha menggelitikku. Aku senang dengan semua ucapannya yang lebih seperti doa ketka ia mencoba berbincang denganku dari balik tabir ini. Atau ketika ia sedang menggumamkan sesuatu dengan lagu. Pernah suatu saat, dengan terbata, ia mendendangkan sebuah lagu dengan bahasa asing seperti in..

"Tak lela.. lela lela ledhun.. Cep meneng, aja pjeer nangis, anakku sing ayu rupane... Yen nangs ndak ilang ayune. Tak gadhang bsa urip mulya, dadia wanita utama, ngluhurke asmane wong tuwa..."

Belakangan baru kuketahui artinya, sebab ia berusaha menerjemahkannya untukku. Ia bilang begini..

"Sayang, jangan engkau menangis di sana, ya... Anakku yang cantik. Janganlah engkau menangs, nanti hilang kecantikanmu, hilang rerupamu yang ayu.. Kudoakan, Nak, selalu untukmu. Semoga engkau bisa hidup bahagia, segala berkecukupan. Jadilah engkau perempuan yang kuat, yang utama. Buatlah aku bangga meski aku tinggal nisan bernama. Jadilah engkau pahlawan bangsa..."

Seperti itu ucapnya. Tak henti-henti dengan cara dan gaya yang berbeda-beda. Dengan bahasa yang juga berupa-rupa. Ia teramat pandai, orang terpelajar agaknya. Ketika umurku empat bulan dulu, Tuhanku menyelipkan sebuah nama di antara banyak nama dalam buku Lauhul Mahfuzku. Kata Tuhan, orang ini adalah Ibu. Kelak kupanggil ia "Ibu".

Ahh... Terkadang ruangan ini terasa begitu sempit bagiku. Hingga sult rasanya meregangkan tubuh mungilku. Jika aku meluruskan tangan dan kakiku, pasti terbentur dinding yang lentur dan licin. Bahkan jika aku ingin mengubah posisi tidurku, kutendang-tendang pula dinding itu. Ketika itulah aku bisa mendengar ia tertawa geli, atau merintih lirih kesakitan. Namun, dasar bandelnya, makin hari makin gemar aku menendang-nendang. Apalagi sekarang ini. Ruangan ini kian tak cukup menampung tubuhku yang mulai gempal. Sebetulnya, di dalam sini sangat nyaman, hangat, dan aku tak pernah kelaparan, pun kehausan. Aku betah, tapi sudah tak muat lagi.

Kudengar suara Ibu merintih-rintih kesakitan. Bahkan sepertinya ia terisak, menangis. Aku sungguh tidak paham. Tak mengerti apa yang terjadi.

"Allahku.. Rabbku.. Tuhanku! Ampuni aku, Ya Rabb! Aku tak kuat! Sakiiiit....."

Begitu rintihnya. Ia berteriak memanggil nama Tuhan. Menyebutnya dengan nada memelas. Aku kebingungan. Sungguh. Kemudian kudengar banyak suara-suara lain. Aku bingung dan menendang-nendang. Kudorong tubuhku sendiri mengikuti gravitasi bumi. Aku makin panik ketika ruanganku terasa hampa, kosong, tak hangat lagi. Makin kuat kudorong tubuh ini, sekuat tenaga berusaha keluar dari rumahku yang makin terasa dingin.

"Ibu tenang, Bu.. Tarik napas, keluarkan. Lalu mengejan, ya Bu.. Anak Ibu juga berusaha. Ayo, Ibu harus kuat!"

Kudengar lamat-lamat suara seorang perempuan sambil aku masih mendorong-dorong tubuhku. Aku lelah sekali. Sungguh lelah. Mungkin ibu membantuku keluar. Makin lama makin terasa mudah mendorong, dan tetiba aku disilaukan oleh cahaya yang teramat terang. Aku tak mampu membuka mata.

Tubuhku leluasa menendang dan memukul kehampaan udara. Besar sekali tampaknya ruangan baru ini. Tapi aku takut. Teramat takut karena tak lagi dekat dengan jantung ibuku. Juga, ruangan ini terlalu dingin. Seketika kujeritkan tangisku yang paling bertenaga.

"Oaaaaaaa! Oaaaaaaa!"

Aku mau ibuku! Mana ibuku? Dingin sekali di sini. Anehnya, tak kudengar lagi tangisnya, atau tawanya. Aku merasa jauh. Atau sengaja dijauhkan! Aku tidak terima. Aku memberontak. Tapi tenagaku kian habis. Aku lemah tak berdaya. Lalu kurasakan tangan yang begitu lembut membopongku, mendekatkanku dengan suara jantung yang selama berbulan-bulan ini telah kuhafalkan iramanya. Dan aku berhenti menangis setelah mulutku dpenuhi air yang amat menyegarkan. Juga suara syahdu ini lagi..

"Cep meneng, aja pijer nangis... Anakku sing ayu rupane..."

Suara ibuku.


(specially dedicated to my beloved MOM)


 
18-12-2012/PBMN/I304/16:10 WIB

Selasa, 18 Desember 2012

Nyi Roro Langit Pribumi

Mengapa hanya aku, Tuhan?
yang terjatuh hari ini
membentang tabir dari kebahagiaan
mengurung diri bersama keterpurukan

Mengapa hanya aku, Tuhan?
yang mengangis hari ini
mengulas selaksa kisah menyedihkan
menitikkan macam-macam kekecewaan

Coba Engkau jelaskan, Tuhan!
hanya padaku hari ini
tentang skenario-Mu yang kian tak teramalkan
tentang rahasia hari-hari masa depan
Aku ingin tahu
adakah aku masih punya waktu
untuk sekedar menghapus prasangkaku
atas hidupku yang terlalu terhinakan
Coba, Tuhan..
Bawa aku dalam pelukMu..

Jumat, 14 September 2012

Untuk engkau, wahai guruku..

Aku mencoba, Pak
Aku telah mencoba memadukan puing-puing ilmu
Pernah pula aku lelah
berpegang pada simpul-simpul kata yang buatku jengah
Hanya duduk termenung,
merenung, mendiamkan waktu
menciumi udara, lalu melepasnya
Pun sedemikian adanya sikapku pada pengetahuan
terkadang

Bapak, dada ini sesak seringkali
Saat sejuta tanya menggunung dalam diri
Namun pula aku malu setiap kali
jemari ini menggelitik udara, memecah keheningan sepi
takut-takut ini pertanyaan bodoh.
Bukan!
Aku yang bodoh dalam bertanya

Tapi, Pak
Aku telah mencoba
dan kuharap, biarlah.
Masa ini memang harus datang
Ketika ini memang aku belum menang
Akan kubuktikan, Pak
dua puluh tahun mendatang, engkau pasti mengenaliku lagi
dan akan mengenangkan masa-masa ini

Bintaro, September 2012 (by: Izeda Lala Hapsari)

Rabu, 12 September 2012

DHUH..

Dhuh.. dhuh biyung..
Apa sira lega lila
manawa jalma manungsa
wus kalimengan tata krama
Ora nyandhang rasa lingsem,
bisane gur mesam-mesem
Nandang gawe ora gelem
Budaya timur kapendhem

Dhuh.. dhuh rama..
Apa sira lega lila
manawa jalma manungsa
wus kalimengan tata krama
Bisane rebutan bandha,
ora duwe aji rega
Kadya pandhawa lawan kurawa,
wasanane prang Baratayuda

Donya wus kasoran, kebak wong-wongan
Surasa blenja, apus, ludira, wadya danawa,
ala.. ala.. ala ketara

(April 2012 by: Apriliana Indri Hapsari)

Sabtu, 04 Agustus 2012

Rekam Memori


28 Desember 2010 (rekam memori)

Bayangannya masih ada. Masih singgah kadang kala. Sekilas senyumnya tergambar tepat di pelupuk mata. Aku memahami setiap inci gerak tubuhnya. Aku mengenal setiap jengkal bahasanya. Aku mengerti tutur katanya. Aku tahu maksud hatinya. Aku pernah bermain, berenang-renang di sana. SMP Negeri 1 ******** , hari Minggu, bulan Februari. Jeansku hitam tersayang, kaus putih, rambut digelung berantakan, latihan dance di ruang jam ke-0 dulu. Berlari aku, HP pemberian kakak, ke gerbang, dekat pos satpam. Duduk, berdiri, tak bisa diam. Aku berjalan, mengawasi setiap pengendara motor yang lewat. Kupikir itu, helm hitam, masker hitam, motor besar biru. Klop. Pas.
Sesaat saja. Kemudian, selesai.
Bakso tenda, bakso aneh, yang baru kuketahui belakangan memang bakso itu ada apa-apanya.
Ayam goreng tepung, hiasan tempat pensil mawar merah, berbentuk hati. Diberikan dari bawah meja. Aku yang berseragam pramuka.
Buah rambutan. Di rumah. Pura-pura berkunjung. menengok kakak. Senyum tersipu. Mendustai debu-debu. Rambutku potongan baru. Sasak segi.
Coklat, mawar segar, depan sekolah.
Coklat, seragam pramuka, warnet, di sebelah monumen, depan taman *******. Tertangkap mata adik-adik kelas.
Pulau Dewata, Bali. Ada yang aneh. Sedikit perasaan was-was, tapi bahagia.
Telomoyo. Empat sekawan. Pemandangan indah. Sepulang berenang. Jaket nuno's biru donker. Jeans hitam kesayanganku lagi. tas ransel penuh pin. Rambut baru yang berurai acak-acakan. Foto.
Gladiool. berenang. Malu. Dia pulang lebih dulu, setelah memasukkan dengan paksa, bantal cinta warna merah muda. Boneka pemberian pertama. Norak, tapi berkesan. Setangkai mawar merah segar. Kusambut dengan hati berbunga-bunga. Pulang dengan tas gendut. Tertawa kecil dalam bus mini.
Diam-diam. Lari pagi. Alun-alun kota. Hanya alibi. Memori di kota ini.
Sawah hijau berpadi. Baju warna-warni. Tabrak sana-sini. Senyuman merekah, berfoto.
*** Radio.
Rumah Makan **** ******. Mobil putih.
Sisir tanduk.
Kaliurang, motor jelek.
Kaliurang, motor besar. Kado tiga buah buku. Berbungkus putih bunga-bunga. Indah.
Pramuka, motor, Panca Arga, nyasar, tidak tahu jalan. Asal.
Tangan. Malam-malam. Pagi-pagi. Siang-siang. Baju ungu. Baju hitam.
Rumah. Kamar. Sakit. Sakit. Sakit. Jemput. Mobil baru. Nasmoco.
Motor, pundak, tangan. Tangan. Tangan.
Yogyakarta, Bandara.
Nikahan, kado sarimbitan. Sepatu kuning.
Baju hijau. Keluaarga. Foto bersama. Nenek.
Mangga. Jalan pulang. Berjalan kaki terus ke Selatan. Angkutan kota. Kami makan mangga, di tepi jalan raya.
Warung depan. Toko Seneng Makmur namanya. Motor kuning. Mbak jamu. Diam-diam.
Kapal. Kamar. Sendirian. Jaket kulit. Cincin, kalung merah, dompet monyet putih.
Radio. Datang dengan kejutan. Boneka beruang lucu di tangan. Dimasukkan dengan paksa. Dalam tas ransel yang sama.
Boneka kelinci merah muda. Dititipkan.
Mawar putih di sebelah lemari. Kejutan lagi.
Sebuket mawar merah. Indah merekah. Hidup ini dulu penuh kejutan.
Makan Bersama, minum bersama, mencuci bersama.
Gertakan amarahnya begitu berkesan. Pada para lelaki tak bertata krama, menggodaku yang berseragam pramuka (lagi-lagi).
Orangn tua. Keluarga. Cukup. Cukup. Cukup!
Parfum, G***** biru. Parfumku C kuning, C merah muda. Beraroma menguap di udara. Sebentar saja.
Ulang tahun. Coklat. Alas sujud. Kotak merah muda berpita. Hidupku dulu, penuh merah muda. Sudah cukup! Cukup! Tutup!
Gunting kuku. Gantungan kunci. Lonceng. Oleh-oleh. Cukup!
Hancur. Hancur. Luluh. Runtuh.
Semoga dia bahagia. Semoga kau berbahagia. Maafkan aku yang harus mengenalkan diri padamu. Memberi luka.
Selamat, kau telah temukan dia. Maafkan aku.
Sekar langit, usai sudah menghanyutkan kisahku.



3 Januari 2011

Aku pikir aku tidak peduli lagi
Aku pikir aku tak apa-apa
Aku pikir aku tidak memikirkannya
Kupikir aku baik-baik saja
Ternyata aku berurai air mata

Minggu, 22 Juli 2012

WWF Indonesia - Indonesian stakeholders say: Green investments are profitable

WWF Indonesia - Indonesian stakeholders say: Green investments are profitable

Sebenernya bagus, sih kalau Indonesia berinvestasi begini. Demi kebaikan bumi. Namun, sayangnya tidak didukung dari sisi yang lain. Misalnya, angka penjualan kendaraan bermotor kian hari kian meningkat. Jumlah kendaraan bermotor, khususnya di Jakarta, semakin banyak. Bahkan diperkirakan beberapa tahun ke depan, kendaraan di Jakarta tidak akan bisa melaju di jalanan karena terlalu penuh. ckckckck. Antara karbon yang dikurangi dengan karbon yang dihasilkan kok sepertinya banyak yang dihasilkan ya? hehehehe